Indonesia, 19.10.04
kawanku Narsis,
betapa pandai dan diberkati, kau
kulihat seluruh dinding ruangan ini sarat kalimat-kalimatmu agung
hingga dahi-dahi berkerut dan decakan-decakan kagum
betapa dahsyatnya,
seorang sastrawan besar telah lahir
desis takjub mulut-mulut beraroma alkohol
menggiring suasana malam kian larut
yang melambungkanmu jauh ke awang-awang
betapa indahnya, kawanku Narsis,
melihatmu melayang di atas sana dikelilingi ribuan cermin
berisi jutaan bayang dirimu
yang tiba-tiba meledak pecah berhamburan
ketika kau sedang tinggi-tingginya
aaaaaahhhhhh........!!!
jerit serentak mulut-mulut beraroma alkohol
semburat menyelamatkan diri dari hujan beling
aneh bin ajaib. tak satupun terluka.
kau pun tidak.
aku melihatmu diam tergeletak
utuh. dengan mulut dan kedua mata terbuka
dan perlahan seluruh kalimat agung di dinding merayap turun
merubung seluruh tubuhmu bak belatung
berpesta pora menggerogoti tiap pori
dan semua makhluk seakan cuma bisa menganga
melihat detik demi detik penahbisan puncak sunyimu:
disinilah segala kebusukan digenapi
dan segala rahasia nyeri dituntaskan
--tepat di tengah-tengah lantai marmer dingin itu
entah siapa yang memulai,
tiba-tiba saja semua yang hadir bertepuk tangan
dan berteriak riuh rendah, bravo! bravo!!
sembari bersulang sloki demi sloki kekosongan diri
dan sebagai sebuah penghormatan terakhir padamu, kawanku Narsis
sebelum lewat jam dua pagi--tepat di atas gundukanmu--
serentak kami teriakkan: hidup Narsis!! penulis bangsa..t...!!
lalu muntah bersama-sama